Pages

Rabu, 21 September 2011

NOVEL

Part 2 - Lilin Yang Tak Pernah Padam


Malam semakin larut. Lampu-lampu sudah dimatikan. Suasana Devavanya bagaikan kota mati. Tak ada sedikitpun tanda kehidupan. Semua penghuninya telah terlelap dalam mimpinya masing-masing. Demikian pula dengan Keluarga Van Goor. Kakek, tuan dan nyonya Van Goor, Ruud, Nicoleta, Edgard sudah terlelap, namun tidak dengan Edvard. Matanya masih terbuka lebar. Dalam benaknya masih terbayang cerita kakeknya tadi. Hal yang paling mengganggu dalam pikirannya selama ini akhirnya terjawab sudah. Namun, hal itu justru menimbulkan pertanyaan baru.

Sejak dulu, Edvard selalu bertanya-tanya kenapa di tengah jalan di pusat kota Devavanya ada lilin yang tak pernah padam? Mengapa lilin itu tidak pernah dipindahkan dari sana? Mengapa orang-orang sangat melindungi api lilin itu? Orang-orang yang dia tanyai lebih sering diam tanpa memberi penjelasan jika dia menanyai mereka. Sepertinya mereka ingin melupakan hal-hal mistis yang melingkupi mereka. Atau mungkin mereka trauma dengan segala hal yang berhubungan dengan manusia serigala.

Tapi, sekarang jawabannya telah dia temukan. Api dari lilin itulah yang menjaga Devavanya selama ini. Karena api itu masih menyala maka para manusia serigala tidak berani mendekati Devavanya sedikitpun. Edvard terus berpikir untuk melaksanakan sesuatu. Dia masih ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Jujur saja, dia merasa agak takut untuk melaksanakan apa yang ada dalam pikirannya saat ini.

Menit demi menit berlalu, salju diluar turun semakin lebat. Badai akan segera tiba. Edvard merasa harus segera mengambil keputusan. Akhirnya dia bangkit dari tempat tidurnya. Lalu berjalan menuju tempat Edgard berbaring. Dia kemudian mengguncang tubuh Edgard agar Edgard terbangun.

“Hei, bangun pemalas! Kita harus melakukan sesuatu!” bisik Edvard.
“Hmmhh… Apa sih? Jangan ganggu aku.. Hmmhh…” Edgard bergumam. Edvard kesal, dia mengguncangkan tubuh Edgard lebih keras lagi.
“Hei, tolol! Bangun! Ini darurat!” Edvard berbisik lebih keras. Edgard akhirnya terbangun. Dan dengan wajah yang kesal dan mengantuk, dia memarahi Edvard karena mengganggu waktu tidurnya.
“Edvard Van Goor! Pikirmu apa yang kau lakukan, hah? Kau mengganggu waktu tidurku! Ini sudah lewat jam dua belas kurasa!” bentak Edgard.
“Sstt! Jangan keras-keras! Nanti orang-orang akan bangun! Ini masih belum jam dua belas!” balas Edvard.
“Ugh, apa maumu?”
“Aku masih terpikir soal cerita kakek tadi. Aku ingin membuktikan kata-kata yang ada dalam kertas itu. Apakah benar para manusia serigala akan kembali jika lilin itu dimatikan?” kata Edvard. Edgard terlihat bingung.
“Tunggu, maksudmu kau ingin mencoba mematikan lilin itu?” tanya Edgard. Edvard mengangguk dengan wajah serius. ”Kau sudah gila? Kau tidak dengar kata-kata kakek tadi? Jangan matikan atau mereka akan kembali! Lagipula malam ini ada badai Ed! Aku tak mau tubuhku mati kedinginan tertimbun badai salju!” kata Edgard. Edvard kemudian tersenyum.
“Jujur saja kembarku, kau takut kan?” ejek Edvard kemudian.
“Apa? Aku? Penakut katamu? Manusia serigala jelek itu bahkan membuatku tertawa!” balas Edgard.
“Hahaha… Tertawa katamu? Lalu kenapa kau tak mau pergi bersamaku malam ini, Edgard Penakut?” ejek Edvard lagi.
“Aku hanya… Hanya…”
“Hanya apa, penakut?”
“Ugh, baiklah, akan kubuktikan aku bukan seorang penakut seperti yang kau katakan!” jawab Edgard akhirnya. Bagus! batin Edvard. Dia kemudian tersenyum. Senyum yang lebih mirip seringai. Karena disaat yang bersamaan hatinya berdegup kencang. Perasaannya tidak tenang, seluruh rasa yang bisa dia rasakan sudah bercampur dalam dadanya.

Edvard dan Edgard kemudian berjalan mengendap-endap menuju pintu rumah. Sebuah lentera kecil ditenteng Edvard, sementara Edgard menenteng sebuah teko penuh air. Mereka kemudian keluar tanpa suara dari rumah. Tak ada yang sadar bahwa mereka sudah meninggalkan rumah mereka. Mereka kemudian terus berjalan menyusuri jalanan di Devavanya. Menuju satu tempat, tempat dimana lilin itu masih menyala. Lilin itu berada di tempat yang sangat sepi di tengah Devavanya. Tak ada yang tinggal di sekitar tempat itu. Apalagi jika mendengar mitos tentang manusia serigala itu. Setelah cukup lama berjalan di tengah kegelapan dengan disinari cahaya dari lentera kecil, akhirnya mereka tiba di tujuan. Api lilin memancarkan cahaya, berpendar di antara salju yang berjatuhan. Aneh sekali memang, api itu tidak padam bahkan setelah diterjang kondisi alam Devavanya selama berpuluh-puluh tahun.

Edvard dan Edgard kemudian mendekat. Degup jantung mereka semakin kencang. Serasa terdengar sampai ke telinga mereka. Tubuh mereka menjadi dingin, bukan karena cuaca, namun karena mereka sangat gugup menghadapi semua ini. Mereka akhirnya tiba di depan lilin. Sejenak mereka diam. Hanya memandangi lilin itu. Badai salju semakin lebat. Kemudian mereka saling berpandangan. Edvard menarik nafas sejenak. Kemudian berkata.

“Berikan airnya padaku.” perintahnya. Edgard takut-takut menyodorkan teko tadi. Edvard merampasnya dengan kasar. Dia lalu menatap lilin yang masih menyala tadi. Edgard mundur beberapa langkah. Lalu, Edvard membuka penutup teko. Dengan satu tangan, dia memiringkan teko itu ke arah lilin. Sedikit demi sedikit air meluncur terjun dari teko. Edvard terus menyirami lilin itu dengan air. Nyala api lilin semakin redup, dan terus redup sampai sangat kecil, sebentar lagi lilin itu akan padam. Mata Edvard membesar, sementara Edgard gemetaran di tempatnya. Air terus menetes, sampai tetes terakhir.

Bwusshh…
Lilin itu akhirnya padam. Mati total, tak ada sedikitpun api di ujungnya. Malam pun kembali menjadi semakin gelap. Hanya ada sinar dari lentera kecil yang dibawa oleh Edvard. Edvard kemudian menatap Edgard, sambil tersenyum lalu berkata.
“Kau lihat? Tak ada yang perlu ditakutkan dari lilin ini. Ayo kita pulang.” kata Edvard. Dia lalu melangkah dan kemudian menarik Edgard yang kelihatannya sudah membeku di tempat. Edgard masih tampak takut. Namun dia juga terus berjalan mengikuti Edvard, karena dia tidak mau ditinggalkan sendirian disitu. Tapi, belum sampai sepuluh meter dari tempat itu, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh di belakang mereka. Ada sesuatu di belakang sana, sesuatu yang nampaknya besar. Mereka berbalik secara spontan. Edvard mengarahkan lentera ke arah asal suara. Tapi semuanya gelap, tak ada yang bisa dilihat, hanya butiran-butiran salju yang turun dari langit. Namun kemudian samar-samar terdengar suara sesuatu melompat di atas tumpukan salju. Melompat mendekati mereka. Edvard mengarahkan lentera mengikuti suara yang dia dengar.

“Ed, apa itu?” tanya Edgard yang celananya sudah basah oleh kencing.
“Sstt! Aku harus mendengarkan!” perintah Edvard. Hening. Sesaat kemudian terdengar samar-samar suara nafas sesuatu. Sepertinya nafas manusia, tapi yang ini agak aneh. Bunyi itu mengitari mereka beberapa kali. Tiba-tiba awan mulai bergerak membuka. Bulan purnama mulai menampakkan dirinya di atas sana. Namun anehnya, tempat di sekitar Edgard dan Edvard masih remang-remang, mereka tetap kesulitan untuk melihat di sekitar mereka. Seakan mereka telah berada di tengah gurun salju luas yang tak berpenghuni. Edgard mulai menangis, sementara Edvard mulai gemetaran. Dia tidak bisa menampik bahwa dia juga ketakutan. Makhluk tak dikenal tadi terus mengitari mereka. Edvard berputar-putar menyinari sekitar daerahnya. Terus berputar, berputar, berputar, dan…

“Aaa…!!!” teriak Edgard. Nafas Edvard menjadi sesak. Hanya semeter lebih dari mereka berdiri seekor makhluk bertubuh serigala yang berdiri dengan dua kaki. Dia memperlihatkan seringainya, giginya yang tajam, dan liur yang terus menetes dari ujung-ujungnya. Matanya menatap tajam pada mereka.
“Grrr…” suara manusia serigala itu. Sepertinya dia sedang sangat ingin makan daging segar. Edvard dan Edgard terdiam ketakutan, mereka tak tahu harus berbuat apa. Seketika itu juga Edvard langsung berbalik dan menarik Edgard.

“Lari! Kita harus lari! Cari tempat persembunyian terdekat! Manusia serigala itu mengincar kita!” teriak Edvard. Edgard ikut berlari, namun baru beberapa langkah kakinya sudah tersandung. Dia jatuh, dan Edvard pun terpaksa berhenti untuk menolongnya. Namun saat akan mengangkat tubuh Edgard tiba-tiba manusia serigala itu menerjangnya. Dia terpelanting bersama manusia serigala itu, lentera yang dipegangnya terlempar jauh. Edgard hanya bisa berteriak melihat saudaranya dimangsa manusia serigala.

“TIDAAAAKKKKK!!! KEMBALIKAN SAUDARAKU HEWAN JELEK!” maki Edgard. Keberaniannya muncul melihat saudaranya dalam bahaya. Dia segera bangkit dan kemudian berlari mengejar cahaya lentera. Dia segera meraih lentera lalu berlari mencari dimana saudaranya dan manusia serigala itu bergulat.

“Aaaaarrggghh!!! Tidak! Jangan! Aaaarrrrgghh!!!” tiba-tiba teriakan Edvard terdengar dari kiri Edgard. Edgard lalu berhenti dan kemudian mengejar kearah teriakan Edvard. Dia sampai disana, dan menemukan serigala tadi sedang mencabik-cabik Edvard yang berteriak-teriak kesakitan. Edgard kebingungan harus melakukan apa, dia tidak punya senjata. Akhirnya dia memilih untuk melemparkan satu-satunya benda yang dia pegang, lentera kecil.
Prang!

Lentera itu pecah di punggung manusia serigala itu. Dia berteriak karena punggungnya terbakar. Edgard berlari menghampiri Edvard, si manusia serigala kemudian melompat berguling-guling diatas salju. Berusaha memadamkan api. Tak lama apipun padam, dan semua menjadi gelap gulita. Sedetik kemudian terdengar teriakan Edgard, lalu hening. Tak ada yang terdengar lagi. Badai salju semakin lebat, tumpukan salju dimana-mana semakin meninggi. Hanya ada sebatang lilin yang telah padam teronggok diam yang menjadi saksi kembalinya manusia serigala malam itu.

View user profile
Back to top

Tidak ada komentar:

Posting Komentar